Rabu, 19 Januari 2011

pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi pada perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang


BAB 1
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Komitmen organisasi sebagai salah satu sikap dalam pekerjaan didefinisikan sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan (Muchlas, 2008). Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan secara khusus organisasi beserta tujuannya dan berharap dapat bertahan sebagai anggota dalam organisasi tersebut (Blau & Global, 1987,  dalam Muchlas, 2008). Jadi, yang dimaksud dengan keterlibatan tugas/kerja itu berarti mengidentifikasikan organisasi/perusahaan yang memperkerjakan seseorang (Muchlas,  2008).
          Menurut Van Dyne dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008),  Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi  adalah: Personal, Situasional dan Posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, ektrovert, berpandangan positif, cendrung lebih komit. Lebih lanjut  Dyen dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008)  menjelaskan karakteristik dari personal yang ada yaitu: usia, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan keterlibatan kerja. Situasional yang mempunyai ciri-ciri dengan adanya: nilai (value) tempat kerja, keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, dan dukungan organisasi. Sedangkan posisional dipengaruhi oleh masa kerja dan tingkat pekerjaan.
Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), Komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta barkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut. Sedangkan menurut Ques (1995, dalam Soekidjan, 2009) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan solidaritas organisasi. Penelitian Quest juga memaparkan bahwa komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tinginya motivasi dan meningkatkan kinerja, komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan self control, komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi, komitmen tinggi berkolerasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.
Perkembangan dalam dunia usaha di Indonesia saat ini yang semakin cepat dan pesat berakibat juga pada perubahan budaya. Sehingga organisasi dituntut untuk mempunyai budaya yang membedakan dengan organisasi lain yang sejenis. Percepatan perubahan lingkungan berakibat pada perubahan budaya perusahaan, kesuksesan sebuah organisasi tidak hanya didukung oleh budaya organisasi saja tetapi juga bagaimana organisasi tersebut menumbuhkan komitmen organisasi yang dipahami sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi (muchlas, 2008).
Menurut Robbins (2003) budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi.
Robbins (2003) mengemukakan fungsi budaya dalam suatu organisasi yaitu: budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang  jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang  lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang, budaya untuk meningkatkan kemantapan sistem sosial, dan budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang  memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai.
Berdasarkan apa yang dikemukakan beberapa ahli di atas, peneliti melihat fenomena yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah  Kabupaten Aceh Tamiang di jumpai bahwa nilai-nilai yang pernah ada sedikit demi sedikit mulai pudar seperti yang muda harus menghormati yang tua, yang lebih lama bekerja dengan yang baru bekerja, yang berpendidikan dengan yang kurang berpendidikan. Sehingga peneliti melihat para pekerja khususnya perawat pelaksana dan setingkatnya dalam melakukan pekerjaannya hanya berdasarkan rasa takut dengan kepala ruangan atau pihak manejemen sebagai atasan jika melakukan kesalahan, bukan didasari dari nilai-nilai kesetiaan pada organisasi kerja. Perilaku semacam ini juga banyak diperlihatkan oleh banyak karyawan. Gambaran fenomena diatas  dapat saja hanya merupakan sifat individu akan tetapi jika berlangsung terus menerus kemungkinan akan dapat menjadi perilaku organisasi, kemungkinan juga dikhawatirkan akan mempengaruhi kepercayaan terhadap nilai-nilai yang ada di organisasi seperti kerja keras, kesetiaan pada rumah sakit, dan kebutuhan untuk memperlakukan pelanggan dengan baik.
Budaya organisasi harusnya terorientasi pada seluruh karyawan bukan pada individu-individu saja dan berdasarkan  dari fenomena di atas peneliti tertarik ingin meneliti bagaimana budaya organisasi yang sebenarnya ada di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang dan bagaimana pengaruh terhadap komitmen organisasi pada perawat pelaksana. Apakah perawat memahami apa itu nilai-nilai yang harus di taati dan apakah para perawat sudah memiliki cita-cita dan kesetiaan terhadap organisasi yang sudah dilambangkan dengan pekerjaan dan sikap sehari-hari.

2.    Perumusan Masalah
  Adapun penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang.

3.    Tujuan Penelitian                                                                                                                            
Adapun tujuan penelitian ini antara lain adalah :
3.1       Mengidentifikasi kecendrungan budaya organisasi yang ada di RSUD Kabupaten  Aceh Tamiang.
3.2       Mengidentifikasi kecendrungan komitmen organisasi yang dimiliki perawat di RSUD   Kabupaten Aceh Tamiang
3.3       Mengidentifikasi pengaruh budaya organisasi dan komitmen organisasi di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang.

4.    Manfaat Penelitian
          Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada   berbagai pihak yaitu :
4.1  Praktek Keperawatan
        Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pemiikiran untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui penciptaan  perubahan budaya dan komitmen organisasi kearah yang lebih baik, selain itu bagi manajemen rumah sakit agar dapat menciptakan suasana kerja dan budaya kerja yang lebih baik lagi sehingga dapat meningkatkan komitmen petugas pada umumnya.
    4.2   Penelitian Keperawatan
         Dengan adanya penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi  perawat.
    4.3   Pendidikan Keperawatan
         Hasil dari penelian ini diharapkan menjadi bahan informasi peserta didik di institusi pendidikan keperawatan sehingga institusi pendidik ilmu keperawatan dapat menciptakan metode atau langkah-langkah yang baik dalam pembentukan karakter perawat dan mencipatakan budaya yang baik  bagi perawat sehingga dapat diterapkan dalam praktik keperawatan di tempat kerja nantinya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Komitmen
1.1 Pengertian Komitmen
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).  Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Menurut  Van Dyne dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008),  faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi  adalah: personal, situasional dan posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cendrung lebih komit. Lebih lanjut  Dyen dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008)  menjelaskan karakteristik dari personal yang ada yaitu: usia, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan keterlibatan kerja. Situasional yang mempunyai ciri-ciri dengan adanya: nilai (value) tempat kerja, keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, dan dukungan organisasi. Sedangkan posisional dipengaruhi oleh masa kerja dan tingkat pekerjaan.
Menurut Quest (1995, dalam Soekidjan, 2009) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas organisasi. Hasil penelitian Quest (1995, dalam Soekidjan, 2009) tentang komitmen organisasi mendapatkan hasil :
1.1.1    Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tingginya motivasi dan meningkatnya kinerja.
1.1.2        Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self Control”.
1.1.3        Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi.
1.1.4        Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas kolektif yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.
Lebih lanjut Soekidjan (2009) menjelaskan bahwa secara umum komitmen kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi absensi dan meningkatkan kinerja.
    1.2  Indikator perilaku komitmen
           1.2.1 Indikator perilaku komitmen menurut Ques.
Menurut Quest (1995, Soekidjan, 2009) indikator-indikator prilaku komitmen yang dapat dilihat pada karyawan adalah :
a.    Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di organisasinya dan melakukan hal-hal yang diharapkan, serta menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.
b.    Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta peduli akan citra organisasi.
c.    Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi
d.   Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.
1.2.2  Indikator perilaku komitmen menurut Meyer dan Ellen.
Meyer dan Allen (1991 dalam Soekidjan, 2009) membagi komitmen organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya :
a.    Affective commitment, Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.
b.   Continuance Commitment, Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.
c.    Normative Commitment, Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.
          Dari ketiga jenis komitmen diatas tentu saja yang tertinggi tingkatannya adalah Affective Commitment. Anggota/karyawan dengan Affective Commitment tinggi akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi. Sedangkan tingkatan terendah adalah Continuance Commitment. Anggota/karyawan yang terpaksa menjadi anggota/karyawan untuk menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan kurang/tidak dapat diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk Normative Commitment, tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi.  komponen normatif akan menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi (Soekidjan, 2009)
          Menurut Allen & Meyer (1997) mendeskripsikan indikator dari komitmen organisasi sebagai berikut: Indikator affective commitment, Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah. Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment  memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan affective commitment  tinggi akan lebih mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
         Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah. Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect.
        Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect). Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing.
        Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
          Indikator Continuance comimitment, Dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk.
           Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role.
        Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.
Indikator Normative commitment, Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997). Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan affective commitment.
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment, normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997). Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja.
 1.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi.
Menurut  Dyne dan Graham (2005, dalam Soekidjan, 2009) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah : Personal, Situasional dan Posisi.
1.3.1 Karakteristik Personal.
a.       Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan  positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan
kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komit.
b.      Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
c.       Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.
d.      Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
e.       Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya.
f.       Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
1.3.2   Situasional.
a.       Adapun faktor yang mempengaruhi komitmen seseorang yang berdasarkan situasioal  ialah nilai (Value) tempat kerja.  Yang berarti bahwa nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, inovasi, kooperasi, partisipasi dan trust akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling berbagi dan membangun hubungan yang erat. Jika para anggota/karyawan percaya bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.
b.      Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya,  keadilan dalam proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
c.       Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi.
d.      Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi komit.
1.3.3        Positional.
a.       Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit, hal ini disebabkan oleh karena: semakin memberi peluang anggota/karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
b.      Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif terlibat. 
1.4  Membangun komitmen organisasi.
        1.4.1 Menurut Martin dan Nichols (1991, dalam Soekidjan, 2009),  Tiga  pilar komitmen yang perlu dibangun adalah:
a.  Rasa memiliki (a sense of belonging)
b.  Rasa bergairah terhadap pekerjaannya
c.  Kepemilikan terhadap organisasi (ownership)
       Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi, cara mendapat dukungan penuh dari organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang, serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan (Soekidjan, 2009).
2.    Konsep Budaya organisasi
     2.1  Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang Merupakan bentuk Jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan Sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan Disebut budaya, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau Mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Juga bisa diartikan Sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Kata budaya kadang juga diterjemahkan Sebagai kultur dalam bahasa Indonesia (Wikipedia, 2009).
     2.2  Pengertian Organisasi
          Sutarto (2006) mendefinisikan organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia. Dan Bernand (1938, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah suatu sistem aktivitas-aktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih sesuatu yang tak berwujud dan tak bersifat pribadi, sebagaian besar mengenai hal hubungan-hubungan. Sedangkan Mooney (1974, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian suatu tujuan bersama.
         Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Sutarto, 2006). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan organisasi yaitu: orang-orang, kerjasama dan tujuan tertentu. Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling kait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan sebutan sistem yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh berbagai asas tertentu (Sutarto, 2006)
2.3  Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2003), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.
        Gibson (1996, dalam Rastodio, 2009) merumuskan: Kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku.  Kreitner dan Kinicki (2003, dalam Ratodio, 2009) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta menendalikan perilaku para anggota.
Schein (1992, dalam Rastodio, 2009) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.
Menurut Noe dan Mondy (1993, dalam Rastodio, 2009), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan  budaya organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi  berkaitan dengan sistem makna bersama yang diyakini oleh anggota organisasi (Rastodio,  2009)       

2.4       Karakreristik budaya organisasi
2.4.1    Karakteristik budaya Organisasi menurut Muchlas
Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik penting (Muchlas, 2008).   Beberapa karakteristik yang telah disetujui adalah sebagai berikut :
a.        Keteraturan perilaku yang dapat diamati
Ketika para partisipan organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka  menggunakan bahasa, terminologi, dan upacara yang umum berlaku  dalam organisasi tersebut
b.      Perilaku standar terjadi termasuk petunjuk-petunjuk tentang berapa banyak yang harus dikerjakan, yang dalam banyak organisasi berlaku: Jangan bekerja terlalu banyak, jangan bekerja terlalu sedikit.
c.       Nilai-nilai yang dominan
   Banyak nilai penting yag dianjurkan oleh sebuah organisasi dan diharapkan para partisipan mau berbagi rasa dengan nilai-nilai tersebut. Contoh yang khusus adalah kualitas produk yang tinggi, angka absen kerja rendah, dan efisiensi yang tinggi.
d. Filosofi
              Banyak kebijakan yang dibuat untuk menanamkan kepercayaan pada organisasi tentang bagaimana para karyawan dan para pelanggan harus diperlakukan.


e. Aturan-aturan
                       Beberapa petunjuk yang ketat berhubungan dengan penyesuaian diri dalam   organisasi. Para pendatang baru harus belajar meniti tali, ini supaya dapat diterima sebagai anggota penuh dari kelompok.
        f. Iklim Organisasi
Hal ini merupakan perasaan umum yang dibawa oleh penempatan fisik, cara partisipan berinteraksi, dan cara para anggota organisasi membawa diri terhadap para pelanggan atau orang-orang luar lainnya (Muchlas, 2008).
        2.4.2   Karakteristik Budaya Organisasi menurut Robbins
          Tujuh karakteristik primer  yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya (Robbins, 2003) Ketujuh karakteristik tersebut,  yaitu:
a.        Inovasi dan pengambilan resiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
b.      Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
c.       Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
d.      Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
e.       Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
f.        Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
g.      Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam  mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.
Adapun  tipologi budaya menurut Sonnenfeld (Robbins, 2003 ), ada empat tipe budaya organisasi: pertama tipe akademi yaitu perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah. Kedua tipe klab yaitu Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim dan yang ketiga tipe tim bisbol perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi serta yang keempat adalah tipe benteng yaitu perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat  lagi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena mereka memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.
2.5  Fungsi Budaya Organisasi
2.5.1  Fungsi Budaya Organisasi menurut Robbins
Menurut Robbins (1996, dalam Rastodio, 2009 ), fungsi budaya organisasi terdiri dari :
a.    Budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi   dan yang  lain.
b.    Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c.    Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih   luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d.   Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e.    Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.


2.5.2  Fungsi Budaya Organisasi menurut Noe dan Mondy
Sedangkan budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996, dalam rastodio, 2009) berfungsi untuk:
a.       Memberikan sense of identity kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi.
b.      Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi
c.       Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
2.6 Tipe Budaya Organisasi
Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.
Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas,  keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu:
2.6.1  Penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai   cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama.
2.6.2 Menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai.
2.6.2        Memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya. Sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun. Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif (Rastodio, 2009).
Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Menurut  Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan bahwa hanya budaya  yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.
Makna terpenting dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan  perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya.







BAB 3
KERANGKA  PENELITIAN

1.      Kerangka Konsep
Berdasarkan pada tinjauan kepustakaan maka untuk melihat bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep yang dikemukakan Robbins (2003) yang menjelaskan ada tujuh karakteristik budaya organisasi yaitu terdiri dari: inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi individu, orientasi tim, agresivitas, stabilitas.
          Sedangkan untuk melihat pengaruhnya terhadap komitmen menggunakan indikator komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Meyer & Allen (1991) yang membagi komitmen organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya yaitu: Affective Commitment, Continuannce Commitment, Normative Commitment.  Berikut adalah kerangka konsep penelitian.
  
Komitmen Organisasi
Affective Commitment
Continuance Comitment
Normative Comitment
Budaya Organisasi
Inovasi & pengambilan resiko
Perhatian terhadap detail
Orientasi hasil
Orientasi orang
Orientasi tim
Agresivitas
Stabilitas


















2.    Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Variabel independen       Budaya       organisasi






























Komitmen organisasi
Nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang yang dijadikan filosofi kerja karyawan khususnya perawat pelaksana yang berstatus PNS yang menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola karyawan dan konsumen.



















Penerimaan yang kuat oleh individu yakni perawat pelaksana di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Menggunakan kuesioner berjumlah 17 item, bentuk pertanyaan positif menggunakan pilihan jawaban: tidak pernah nilai 1, kadang-kadang nilai 2, sering nilai 3 dan selalu nilai 4. Yang meliput indikator:
1.  Inovasi dan pengambilan resiko
2. Perhatian terhadap detail
3. Orientasi hasil
4. Orientasi orang
5. Orientasi tim
6. Agresivitas
7. Stabilitas

Dengan menggunakan skala likert



Menggunakan kuesioner sebanyak 13 pertanyaan dengan pilihan jawaban: tidak pernah dengan
Nilai1,  kadang-kadang dengan
nilai 2, sering dengan nilai 3 dan selalu dengan nilai 4. Pertanyaan dalam bentuk pertanyaan positif. Sedangkan untuk jawaban pertanyaan yang bersifat negatif diberikan nilai kebalikan dari pertanyaan positif.

Dengan menggunakan skala likert


Budaya Tinggi
Nilai: 35 s/d 68
Budaya Rendah
Nilai:17 s/d 34





























1.Affectif commitment
2.Continuence commitment
3.Normative commitment

Ordinal   
































Ordinal













3.      Hipotesa Penelitian

          Hipotesa yang diajukan adalah terdapat pengaruh antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi perawat di Rumah Sakit Umum Kabupaten Aceh Tamiang. Semakin kuat budaya organisasi yang dianut maka semakin kuat komitmen organisasi, sebaliknya semakin rendah budaya organisasi yang dianut semakin rendah komitmen organisasi.


BAB 4
METODELOGI PENELITIAN

1.    Desain Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi. yang bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang.

2.    Populasi dan Sampel
2.1  Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang yang bertugas di ruang rawat inap  yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil kecuali di poliklinik tidak dimasukkan sebagai populasi. Jumlah perawat pelaksana sebagai populasi dalam penelitian ini adalah 60 orang.
2.2  Sampel
          Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang ada yaitu sebanyak 60 orang maka penelitian ini disebut sebagai penelitian populasi yang didefinisikan bahwa penelitian populasi dilakukan apabila ingin melihat semua liku-liku yang ada dalam populasi dan dilakukan bagi subjeknya yang tidak terlalu banyak (Arikunto, 2006)


3.      Lokasi dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 7 ruangan rawatan  di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Februari 2010 sampai 30 Agustus 2010.

4.      Pertimbangan Etik
   Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mendapatkan izin dari fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya mengajukan surat permohonan  kepada kepala Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang. Setelah mendapatkan izin untuk melakukan penelitian, peneliti memulai penelitian dengan mempertimbangkan etik, sebagai berikut:
4.1   Informed consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diserahkan kepada subjek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi sebelum dan sesudah penelitian. Jika bersedia dijadikan responden, maka mereka diminta untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika mereka menolak untuk dijadikan responden, maka peneliti tidak akan memaksa dan akan tetap menghormati hak-haknya.
4.2  Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup dengan memberi nomor kode  pada masing-masing lembar tersebut.
4.3     Confidentialty (kerahasiaan)
Kerahasian informasi responden akan dijamin oleh peneliti, hanya sekelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian (Hidayat, 2007) 

5.      Instrumen penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupaya kuesioner. Kuesioner terdiri dari tiga bagian: pertama data demografi kedua kuesioner budaya organisasi dan ketiga kuesioner komitmen organisasi.
5.1  Data Demografi Responden
Kuesioner data demografi responden meliputi nomor responden, umur, jenis kelamin pendidikan terakhir, status perkawinan dan lama bertugas. data  yang sudah terkumpul dalam jenis data ordinal ataupun nominal akan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekwensi kecuali data usia responden yang akan ditampilkan dalam tendensi sentral.




5.2  Kuesioner Budaya Organisasi
Untuk mengetahui  bagaimana budaya organisasi menggunakan kuesioner yang digunakan untuk mengukur tujuh karakter budaya organisasi yang dimiliki karyawan, yang terdiri dari 17 item pertanyaan yang bersifat positif. Sedangkan penyusunan pertanyaan menggunakan skla likert dengan alternatif pilihan jawaban 1 sampai 4, jawaban  pertanyaan sebagai berikut:
Nilai 1: untuk jawaban tidak pernah artinya responden tidak pernah   merasakan, mendapatkan dan melakukan sama sekali apa yang ditanyakan dalam item pertanyaan.
           Nilai  2:  untuk jawaban kadang-kadang artinya responden pernah melakukan dan merasakannya walau hanya 1 kali
           Nilai 3:   untuk jawaban sering artinya responden pernah melakukan, mend        apatkan dan merasakan lebih dari 2 atau 3 kali
           Nilai  4:  untuk jawaban selalu artinya responden dalam kesehariannya terus  menerus mendapatkan dan merasakan sesuai apa yang tanyakan pada kuesioner.
         Adapun sebagai item-item pertanyaan pada variabel budaya organisasi terdiri dari: sub variabel inovasi dan pengambilan resiko pada pertanyaan no 1, 2,  3, sub variabel perhatian terhadap detail pada  pertanyaan no 4, 5, 6, sub variabel orientasi hasil pada  pertanyaan no 7, sub variabel orientasi individu pada pertanyaan 8, sub variabel orientasi tim pertanyaan no 9, 10, 11, 12, sub variabel agresivitas pertanyaan no 13, 14, sub variabel stabilitas pada  pertanyaan no 15, 16, dan 17.
      5.3 Kuesioner Komitmen Organisasi
         Untuk mengetahui bagaimana komitmen organisasi menggunakan kuesioner untuk mengukur 3 tingkatan komitmen yang cendrung dimiliki karyawan yaitu effectif comitment, continuence comitment dan normatif comitment yang terdiri dari 13 pertanyaan yang bersifat positive  pilihan jawaban yang disediakan ialah untuk tidak pernah bernilai 1, kadang-kadang bernilai 2, sering berniilai 3 dan selalu bernilai 4 sedangkan untuk pertanyaan yang bersifat negatif jawaban tidak pernah bernilai 4, kadang-kadang  bernilai 3, sering bernilai 2 dan selalu bernilai 1. Adapun standar penilaian yang digunakan ialah untuk affectif comitmen responden yang sering bernilai 4, untuk continuence comitment yaitu responden yang sering mempunyai nilai 3 dan 2, sedangkan untuk normatif comitment adalah responden yang lebih sering bernilai 1.
          
6.  Validitas dan Reliabilitas Instrumen
6.1  Uji Validitas
         Uji validitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrument pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk menguji validitas isi yaitu validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya dikonsultasikan kepada salah satu staf ahli keperawatan di RSUP Adam Malik Medan berstrata magister keperawatan pada tanggal 28 Juli 2010. Dari hasil uji validitas isi yang dilakukan pada beberapa pertanyaan dilakukan perubahan kalimat yang bersifat positif menjadi negatif agar dapat lebih memudahkan responden memahami kalimat yang dimaksud, dan penempatan skor telah dihilangkan agar responden tidak dapat memberi jawaban berdasarkan nilai yang ada, jumlah pertanyaan menjadi 30 untuk variabel budaya dan komitmen.
   6.2  Uji Reliabilitas
         Untuk mengetahui kepercayaan suatu instrumen penelitian harus sebaiknya dilakukan uji reliabilitas instrument. Instrument disebut reliabel jika instrumen tersebut sudah baik, dapat dipercaya dan dapat diandalkan (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini  dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan responden yang mempunyai kriteria dan ciri-ciri seperti sampel pada penelitian. Pada uji reliabilitas ini mengambil responden sebanyak 30 responden dan dilakukan di RSUD langsa. Dengan perhitungan menggunakan rumus Koefisien Reliabilitas  Cronbach Alpha  di mana suatu instrument dikatakan reliabel jika mempunyai nilai alpha 0,6 atau lebih (Arikunto, 2006). Pada uji reliabilitas ini mendapatkan hasil nilai alpha 0,896 sehingga dikatakan reliabel, adapun hasil perhitungannya uji reliabelitas pada penelitian ini terlampir pada lembar lampiran ke 3.
 






7.   Pengumpulan Data
        Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden, prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
7.1  Mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi      pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
7.2  Mengirimkan surat ijin penelitian dari fakultas ke tempat penelitian   yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang
7.3  Setelah mendapatkan ijin dari pihak rumah sakit, peneliti menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner.
7.4  Setelah mendapatkan persetujuan responden, pengumpulan data dimulai.
                 Pembagian kuesioner pada tanggal 16 Agustus 2010 dan dilakukan oleh peneliti sendiri dengan membagikan kuesioner kepada responden yang terpilih dan merupakan perawat pelaksana serta sesuai dengan keinginan peneliti. Responden diberikan waktu selama 45 menit untuk menjawab 30 soal yang disediakan, selama proses pengisian kuesioner peneliti tetap berada di ruangan tempat responden berada agar apabila kalimat yang tidak dimengerti, peneliti dapat menjelaskan kembali dengan tanpa mengarahkan jawaban responden.




8.      Analisa Data      
       Setelah data terkumpul analisa data akan dilakukan melalui  beberapa tahapan, antara lain tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden se rta memastikan semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah pada saat mengadakan tabulasi dan analisa, tahap ketiga ialah entri yaitu memasukkan data dari kuesioner kedalam program computer. Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkan ke program komputer untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Tahap kelima saving yaitu penyimpanan data untuk siap dianalisis adapun data yang dalam penelitian ini merupakan data yang bersifat katagorik dengan skala ordinal yang akan ditampilkan dengan distribusi frekwensi.
      8.1 Statistik Univariat
Bertujuan untuk mendekripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, bentuknya sesuai dengan bentuk datanya (Hartono, 2007) pada penelitian ini menggunakan data dengan skala ordinal yang kemudian dikatagorikkan sehingga menjelaskan angka/nilai jumlah dan persentase dari masing-masing kelompok.
      8.2 Statistik Bivariat
Statistik bivariat yaitu suatu prosedur untuk menganalisa hubungan antara dua variabel. Untuk melihat eratnya hubungan antara variabel independent  dan variabel dependent. Pada penelitian ini peneliti melakukan analisis korelasi sederhana (Spearman correlation) yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui arah hubungan yang terjadi (wahyuni, 2009). Dengan derajat kemaknaan:  pValue = α, α = 0,05. Jika angka signifikansi hasil riset α < 0,05, maka hubungan kedua variabel signifikan. Jika angka hasil riset α>0,05, maka hubungan kedua variabel tidak signifikan. Adapun interpretasi koefisien korelasi nilai 0,00 – 0,199 (sangat rendah), 0,2 – 0.399   (rendah), 0,4 – 0,599   (sedang), 0,6 – 0,799   (kuat), dan untuk nilai  0,8 – 1,00 (sangat kuat).







BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1.        Hasil penelitian
Bagian ini menguraikan hasil penelitian terhadap 60 orang perawat pelaksana di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang. Penyajian data meliputi karakteristik responden, karakteristik budaya organisasi, karakteristik komitmen organisasi dan pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang.
      1.1  Karakteristik Responden
         Berdasarkan karakteristik responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin responden yang terbanyak adalah perempuan yaitu 48 orang (80%) sedangkan karakteristik responden ditinjau dari umur  yang terbanyak yaitu rentang umur < 30 tahun sebanyak  42 orang (70%), ditinjau dari pendidikan terakhir  yang terbanyak adalah D III Keperawatan yaitu 55 orang (91,66 %),  frekwensi responden menurut status perkawinan yaitu terdapat 24 orang atau 40% responden yang berstatus belum menikah sedangkan distribusi responden berdasarkan masa kerja terdapat 39 orang atau 65% responden yang bekerja kurang dari 3 tahun di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang. Berikut tabel distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi.



 Tabel 1. Distribusi frekwensi responden di RSUD Kabupaten Aceh    Tamiang Tahun 2010

NO
Karakteristik
Frekuensi
Persentase(%)

1





   2





3






4





5

Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Usia
< 30 tahun
> 30 tahun
Total

Tingkat Pendidikan
SPK
D IIIKeperawatan
S1 Keperawatan
Total

Status perkawinan
Belum menikah
Sudah menikah
Total

Masa kerja
< 3 tahun
>3 tahun
Total

12
48
         60


         42
18
           60


3
55
7
60


24
36
60


39
21
60

20
80
100


70
30
100


 3,33
91,66
          5
        100


40
60
100


65
35
100

     1.2 Budaya organisasi
Pada variabel budaya organisasi yang terdiri dari tujuh sub variabel  berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sub variabel inovasi dan pengambilan resiko rendah sebanyak 48,3%, untuk sub variabel perhatian terhadap detail ini menunjukkan hasil terdapat perhatian terhadap detail  rendah sebanyak 23,3%  sedangkan pada sub variabel orientasi hasil terdapat 73,3% dengan orientasi hasil rendah, pada  sub variabel orientasi  individu  terdapat sebesar 60% atau seluruh perawat yang berorientasi individu rendah, pada sub variabel orientasi tim diperoleh hasil 36,7% orientasi tim rendah, pada sub variabel agresivitas ini terdapat sebanyak 30% perawat yang memiliki agresivitas rendah dan  pada sub variabel stabitas terdapat 23,3% denga stabilitas rendah.
 Tabel 2. Distribusi frekwensi sub variabel budaya organisasi pada perawat di   RSUD Kabupaten Aceh Tamiang.



Sub variabel

Frekwensi

Persentase

(%)


NO.
Sub variabel
Frekwensi
Persentase(%)
 1.
Inovasi dan pengambilan resiko
Tinggi
Rendah
Sub Total

31
29
60

  51.7
 48.3
100
 2.

Perhatian terhadap detail
Tinggi
Rendah
Sub Total
  
 46
           14
           60

  76.7
  23.3
            100
 3.
Orientasi hasil
Tinggi
Rendah
Sub Total

  16
            44
            60

    26.77
 73.3
            100
 4.
Orientasi individu
Tinggi
Rendah
Sub Total

    0
            60
            60

                 0
100
100
 5.
Orientasi tim
Tinggi
Rendah
Sub Total

   38
            22
            60

              63.3
  36.7
            100
 6.

Agresivitas
Tinggi
Rendah
Sub Total

  42
            18
            60

              70
  30
100
  7.
Stabilitas
Tinggi
            Rendah 
             Sub Total

   46
14
  6

  76.7
  23.3
                1
1.3      Karakteristik budaya organisasi
 Tabel 3.Karakteristik  budaya organisasi pada perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2010
Budaya organisasi
Frekwensi
Persentase

    Budaya tinggi
    Budaya rendah
    Total
58
 2
60
 96.7
  3.3
           100


Berdasarkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa karakteristik budaya organisasi yang dimiliki oleh perawat pada RSUD Kabupaten Aceh Tamiang ialah jenis budaya organisasi tinggi, yakni terdapat 58 atau 96,7% perawat yang memiliki budaya organisasi tinggi dan selebihnya yakni hanya 2 orang atau 3,3% yang berbudaya organisasi rendah.
1.4      Karakteristik Komitmen Organisasi
        Untuk melihat bagaimana komitmen yang dimiliki perawat pada RSUD Kabupaten Aceh Tamiang, dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 4. Distribusi frekwensi Komitmen Organisasi pada perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2010
NO
Sub Variabel
Frekwensi
Persentase
1
2
3
Affectif Comitment
Continuance Comitment
Normative Comitment
 0
49
11
0
81.7
18.3


           Dari tabel di atas menunjukkan bahwa untuk variabel komitmen organisasi yang dinilai dari tiga (3) jenis komitmen yang ada hanya dua (2) tingkatan komitmen yang ada. Komitmen yang dimiliki oleh perawat yang menjadi responden pada penelitian ini yaitu untuk jenis continuance comitment sebanyak 49 orang atau 81,7% dan normative comitment sebanyak 11 orang atau 18,3%. Berikut tabel distribusi frekwensi untuk komitmen organisasi.
1.5    Hubungan  budaya organisasi dengan komitmen organisasi
Adapun hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi dapat dilihat dari kedua tabel berikut, pada tabel 5 mendiskripsikan hubungan budaya organisasi, dapat dilihat dengan hasil yang menampilkan hasil nilai pValue  dan nilai korelasi (r) antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi.
Tabel 5. Hubungan sub variabel budaya organisasi dengan komitmen organisasi perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2010
    Sub variabel Budaya organisasi
Komitmen organisasi
r(korelasi)
pValue
Inovasi dan pengambilan resiko
       0,027
       0,836

Perhatian terhadap detail
       0,261
       0,044

Orientasi hasil
       0,006
       0,961

Orientasi individu
       0
       0

Orientasi Tim
       0,182
       0,165

Agresivitas
       0,310
       0,016

Stabilitas
       0,160
       0,223


Berdasarkan tabel di atas menunjukkan pengaruh dari masing-masing sub variabel budaya organisasi terhadap komitmen organisasi yaitu: pada sub variabel inovasi dan pengambilan resiko terdapat hubungan yang rendah tetapi searah dimana r = 0,027 dan terdapat pValue = 0,836 yang bermakna terdapat hubungan yang tidak signifikan antara inovasi dan pengambilan resiko dengan komitmen organisasi. Untuk sub variabel perhatian terhadap detail dan pengaruhnya terhadap komitmen menunjukkan hasil nilai r = 0,261 yang bermakna terdapat hubungan yang rendah dan nilai pValue= 0,044 yang memiliki makna terdapat hubungan yang signifikan antara sub variabel perhatian terhadap detail dengan komitmen orgainsasi,
Sedangkan pada sub variabel orientasi hasil di peroleh nilai r = 0,006 yang bermakna terdapat hubungan yang sangat rendah dan nilai pValue = 0,961 yang bermakna terdapat hubungan yang tidak signifikan antara sub variabel orientasi hasil dengan komitmen organisasi. Pada sub variabel orientasi individu menujukkan hasil r = 0 dan pValue = 0 yang berarti menunjukkan hubungan keduanya yang lemah antara sub variabel orientasi individu dengan komitmen organisasi.
Sedangkan pada sub variabel orientasi tim hasil penelitian menujukkan nilai r = 0,182 yakni terdapat hubungan yang sangat kuat dan nilai pValue = 0,165 yang bermakna tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sub variabel orientasi tim dengan komitmen organisasi. Pada sub variabel agresivitas menujukkan nilai r = 0,310 yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang rendah dan nilai pValue = 0,016 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sub variabel agresifitas dengan komitmen.untuk sub variabel stabilitas menunjukkan hasil yakni nilai r = 0,160 yang bermakna adanya hubungan yang sangat lemah dan nilai pValue = 0,223 menunjukkan adanya hubungan yang tidak signifikan antara sub variabel stabilitas dengan komitmen organisasi.
Untuk melihat bagaimana hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi di bawah ini dapat di lihat pada tabel korelasi antara kedua variabel berikut.
Tabel 6. Hubungan variabel budaya organisasi dengan komitmen organisasi perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2010
Variabel
Korelasi
(r)
pvalue
Budaya organisasi
Komitmen organisasi


0,088

0,504

Berdasarkan uji analisa dengan analisis korelasi Spearman’s rho, pada penelitian ini menunjukkan nilai r = 0,088 nilai pValue= 0,504 .

2. Pembahasan
2.1 Budaya organisasi
Sesuai dengan tujuan pada penelitian ini yaitu ingin mengidentifikasi bagaimana pengaruh budaya organisasi dengan komiten organisasi pada perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang. Maka berdasarkan hasil penelitian penulis akan menjelaskan terlebih dahulu bagaimana budaya organisasi yang ada di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kecendrungan budaya yang dimiliki perawat secara keseluruhan ialah budaya  adaptif (96,7%), jika dilihat dari maknanya bahwa suatu perusahan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menunjukkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan  perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya (Rastodio, 2009)
Pada penelitian ini juga melihat budaya organisasi dengan menggunakan sub variabel yang terdiri dari tujuh sub variabel budaya organisasi, dari ketujuh variabel budaya organisasi yang menjadi landasan konsep penelitian dapat peneliti jelaskan berdasarkan sub variabel sebagai berikut:
2.1.1 Sub variabel inovasi dan pengambilan resiko
Pada sub variabel inovasi dan pengambilan resiko berdasarkan analisa deskriptif menunjukkan hampir lebih dari setengah  perawat pelaksana memiliki motivasi dan kemampuan pengambilan resiko yang rendah yakni masih ada 48,3%  perawat yang memiliki inovasi dan pengambilan resiko yang rendah, padahal inovasi dan pengambilan resiko ini sangat di butuhkan untuk meningkatkan  mutu pelayanan suatu organisasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Robbins (2003) bahwa inovasi dan pengambilan resiko ialah sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko. Rela berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dan dapat menciptakan sesuatu hal yang baru dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan. 
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi. Berdasarkan analisis penelitian ini untuk melihat hubungan sub variabel inovasi dan pengambilan resiko jika dilihat pengaruhnya terhadap  komitmen menunjukkan hasil hubungan yang rendah dan tidak signifikan, dengan nilai r = 0,027 dan pValue = 0,836
            Hal ini mungkin disebabkan masih kurangnya dukungan dari organisasi terhadap inovasi yang akan dilakukan dan kurangnya kemauan dari dalam diri sendiri. Selain itu hasil penelitian ini menunjukkan kebanyakan pengalaman kerja perawat di bawah 3 tahun, sehingga pengalaman kerja masih kurang dan menghambat dalam kemampuan berinovasi dan pengambilan resiko serta dalam peningkatan komitmen perawat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori menurut  Dyen dan Graham (2005) yang menjelaskan bahwa karakteristik dari personal juga mempengaruhi komitmen seseorang  yaitu: usia, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan keterlibatan kerja.                                               
2.1.2 Sub variabel perhatian terhadap ditail
         Pada sub variabel perhatian terhadap detail menunjukkan hasil 76,7% perawat pelaksana memiliki perhatian terhadap detail yang tinggi, ini sangat baik untuk mendukung suatu organisasi. Pernyataan ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh  Robbins (1996) bahwa perhatian terhadap detail yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Dimana diperlukan karyawan yang handal dan memiliki kompetensi dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang perlu ditangani dengan lebih serius.
        Jika dilihat dari hasil analisis data menunjukkan bahwa sub variabel perhatian terhadap detail dan pengaruhnya terhadap komitmen menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang rendah dan signifikan antara sub variabel perhatian terhadap detail dengan komitmen orgainsasi, dengan nilai r = 0,261 dan pValue = 0,044. Berdasarkan pengamatan langsung selama peneliti melakukan penelitian ataupun pengamatan peneliti selama bekerja di RSUD Kabupaten Tamiang, peneliti melihat banyak perawat yang bekerja dengan baik dan penuh perhatian baik dalam melakukan tindakan keperawatan ataupun dalam melaksanakan pekerjaan lainnya mungkin karena didasari oleh kemauan yang kuat dalam diri sendiri, ini sesuai juga dengan teori menurut  menurut  Dyne dan Graham (2005),  bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi  adalah: personal, situasional dan posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cendrung lebih komit dalam bekerja.
2.1.3 Sub variabel orientasi hasil
           Untuk sub variabel orientasi hasil berdasarkan analisis penelitian terdapat lebih dari 44% perawat pelaksana  yang menjawab rendahnya orientasi hasil dari manajemen, hal ini menunjukkan hal yang kurang baik seharusnya menunjukkan hasil yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan hasil kerja karyawan pada umumnya.   Menurut Robins (1996) jika orientasi hasil tinggi maka ini merupakan hal yang baik dimana pada orientasi hasil ini menajemen melihat atau berfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut, melainkan lebih pada ke sesuaian antara output yang di harapkan dengan output yang sudah di hasilkan.
         Jika dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap komitmen organisasi, pada hasil analisis penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat rendah dan tidak signifikan dengan nilai r = 0,006 dan pValue=0,961. Hal ini jika dikaitkan dengan hasil pengamatan peneliti kemungkinan disebabkan karena adanya anggapan pada perawat yang merasa masih kurangnya dukungan dari manajemen kepada perawat pelaksana dalam hal memberi dorongan dan dukungan dalam meningkatkan komitmennya. Ssesuai dengan yang disampaikan Soekidjan (2009) bahwa faktor situasional yang meningkatkan komitmen ialah dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi, hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsikan bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi lebih komitmen.
2.1.4 Sub variabel orientasi individu
         Pada sub variabel orientasi individu  menunjukkan hasil keseluruhan   yakni 100% berorientasi individu rendah, hal ini menunjukkan karakter suatu budaya organisasi yang kurang baik dimana manajemen memandang sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu. apakah keputusan manajemen tersebut berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pelaku organisasi. Jika di lihat dari pengaruh terhadap komitmen pada sub variabel orientasi individu menunjukkan hasil adanya  hubungan  yang lemah dan signifikan dengan nilai r = 0 dan nilai pValue = 0.
          Faktor individu merupakan suatu yang penting dalam mempengaruhi komitmen seseorang hal ini sesuai dengan teori Dyne dan Graham (2005) bahwa ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan  positif (optimis), cenderung lebih komit dalam bekerja. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah. Berdasarkan jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi.
2.1.5 Sub variabel orientasi tim
        Pada sub variabel orientasi tim berdasarkan analisis penelitian terdapat perawat pelaksana yang berorientasi pada tim rendah yakni 36,6%, ini menunjukkan bahwa organisasi dan individu belum menunjukkan secara maksimal  sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan pada seluruh anggota tim yaitu diperlukan kerjasama dalam melaksanakan tugas bersama untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Robbins (2003) menjelaskan bahwa organisasi   menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim, jika dilihat pengaruh orientasi tim terhadap komitmen dari hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat tetapi signifikan antara sub variabel orientasi tim dengan komitmen organisasi pada perawat dengan nilai r = 0,182 dan pValue = 0,165.
          Hasil tidak signifikannya pengaruh antara orientasi tim dengan komitmen berdasarkan analisis rumah sakit, peneliti berasumsi kemungkinan dengan masih banyaknya perawat pelaksana yang masih berusia muda dan dengan masa kerja yang relatif masih baru sehingga masih belum memahami secara  baik bahwa kerjasama adalah penting , seperti yang dijelaskan oleh Graham dan Dyen (2005) bahwa individu yang lebih lama bekerja berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komitmen.
          Selain itu masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan lebih komitmen, hal ini disebabkan karena semakin memberi peluang anggota/karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang (Soekidjan,2009).
2.1.6 Sub variabel agresivitas
         Pada sub variabel keagresifan berdasarkan analisis penelitian terdapat keagresivitasan yang tinggi yakni lebih dari 70% perawat pelaksana memiliki agresivitas yang tinggi. Hal ini berarti tingginya semangat dan spirit karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan. Agresivitas (aggressiveness) juga adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya, Penerapan dalam organisasi rumah sakit antara lain manajemen mempertahankan karyawan yang berpotensi, evaluasi penghargaan dan kinerja oleh manajemen ditekankan kepada upaya-upaya individual, walaupun senioritas cenderung menjadi faktor utama dalam bekerja (Wartawarga, 2009)
         Berdasarkan hasil analisis penelitian menunjukkan adanya  hubungan yang rendah  dan tidak signifikan antara sub variabel agresivitas dengan komitmen organisasi, dengan nilai r = 0,310 dan pValue = 0,016. Agresivitas yang tinggi pada perawat pelaksana di RSUD Kabupaten Aceh taming menurut peneliti lebih di sebabkan karena banyaknya perawat yang berjenis kelamin perempuan di banding laki-laki dan adanya perawat yang berstatus sudah menikah, kedua hal ini merupakan faktor yang dapat meningkatkan komitmen terutama dalam meningkatnya keagrevitasan pekerja (Dyne dan Graham, 2005)
         Hal ini juga sesuai yang diutarakan dalam Soekidjan (2009) bahwa Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi, dan pada Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya.
2.1.7  Sub variabel stabilitas 
          Pada sub variabel stabilitas berdasarkan hasil analisis penelitian menunjukkan masih terdapat nilai stabilitas rendah yaitu  23,3% perawat pelaksana masih memiliki stabilitas yang rendah. Pada variabel stabilitas ini Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik (Robins, 2003). Dalam penelitian ini berdasarkan uji korelasi yang dilakukan terdapat hubungannya yang sangat lemah dan  tidak signifikan antara sub variabel stabilitas dengan komitmen organisasi, dengan nilai pValue = 0,223  dan nilai r  0,160. Seharusnya stabilitas dari suatu budaya organisasi harus dijaga dengan baik sehingga mampu menjadi modal dasar untuk pengembangan organisasi pada masa yang akan datang.
         Dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, maka diperoleh gambaran majemuk dari budaya suatu organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku.
         Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang  lainnya, artinya unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang  berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang  berorientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang menghasilkan produk barang (Robins, 2003)
2.2  Komitmen organisasi
         Berdasarkan hasil analisis penelitian untuk variabel komitmen menunjukkan bahwa jenis komitmen yang cenderung dimiliki perawat di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang ialah jenis  continuance commitment dan normative commitment. Sementara untuk jenis effective commitment tidak dimiliki oleh perawat. Sebanyak 81,7% responden memiliki kecenderungan berprilaku continuance commitment . Adapun Indikator Continuance commitment yang tinggi yaitu karyawan akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi (Allen & Mayer,1997).
        Hal ini berkaitan juga dengan karakteristik responden yang merupakan perawat pelaksana dengan masa kerja dibawah tiga tahun yang menurut penelitian merupakan masa kerja yang masih baru sehingga dengan masa kerja yang baru tersebut akan berpengaruh pada komitmen perawat itu sendiri. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Dyen dan Graham(2005) yaitu masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit oleh karena otonomi semakin besar, serta adanya peluang promosi yang semakin tinggi dan akses mendapatkan pekerjaan semakin sulit karena faktor usia.
         Berkaitan dengan hal ini, maka individu yang masih memiliki usia muda dan lama pekerjaan yang baru tersebut belum diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi dan masih perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan yang diberikan oleh pihak manajemen. Continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya. Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997).
        Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi, komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini merupakan suatu kondisi yang buruk.
         Mayer menjelaskan teori hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Allen & Meyer, 1997), jika prilaku normative commitment terus dibiarkan akan menjadi budaya organisasi begitu juga dengan continuance commitment.
          Untuk mencegah perubahan sikap karyawan seperti pada continuance commitment dan normative commitment maka ada beberapa pilar yang harus diterapkan oleh manajemen yaitu sesuai yang di jelaskan oleh Martin dan Nichols (1991, dalam Soekidjan, 2009),  bahwa tiga  pilar komitmen yang perlu dibangun adalah: rasa memiliki (a sense of belonging), rasa bergairah terhadap pekerjaannya, kepemilikan terhadap organisasi (ownership)
       Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi, cara mendapat dukungan penuh dari organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang, serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan.
2.3   Hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada perawat   di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang
   Dari hasil analisis penelitian dengan analisis korelasi Spearman’s rho. Terdapat hubungan antara budaya organisasi yang dimiliki oleh perawat pelaksana di RSUD Kabupeten Aceh Tamiang berdasarkan sub variabel budaya organisasi dengan komitmen organisasi,  pada penelitian ini yang menunjukkan nilai r = 0,088, yang berarti adanya korelasi yang tidak kuat  dan  dengan nilai pValue = 0,504 menunjukkan adanya hubungan yang tidak signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi.
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chrysanti (2009) yang hasilnya menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada Perawat Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Hasil penelitiannya mengungkapkan sumbangan efektif variabel budaya organisasi terhadap komitmen organisasi yang ditunjukan melalui koefisien determinasi sebesar 0,522. Angka tersebut menjelaskan bahwa budaya organisasi memberikan sumbangan 52,2% terhadap komitmen organisasi. Penelitiannya dilakukan pada Perawat Rumah Sakit Panti Wilasa dengan jumlah populasi sebanyak 83 orang, dengan 48 perawat sebagai sampel penelitian dengan karakteristik perawat yang berusia 20-39 tahun, lama bekerja minimal 1 tahun dan berpendidikan terahir DIII Keperawatan. Analisis dengan metode analisis regresi sederhana mendapatkan rxy = 0,723 dengan p = 0,000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan positif antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi budaya organisasi maka semakin tinggi komitmen organisasi. Jika dilihat perbedaan dari hasil penelitian ini dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Chrysanti (2009), terdapat perbedaan yang jelas bahwa dari hasil penelitian pada budaya organisasi menunjukkan hasil budaya organisasi yang tinggi tetapi pada komitmen organisasi terdapat komitmen yang rendah.
Hal ini juga bertentangan dengan penelitian Quest (1995) yang memaparkan bahwa komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tinginya motivasi dan meningkatkan kinerja, komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan self control, komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi, komitmen tinggi berkolerasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.
Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumya menurut peneliti disebabkan beberapa hal karena masih adanya orientasi tim yang rendah pada perawat, orientasi individu yang rendah dari manjemen dan orientasi hasil yang masih rendah, selain itu juga pembiasaan terhadap disiplin, menjalankan sistem dengan baik dan  pelaksanaan kebijakan yang konsisten tampak belum berjalan seperti yang diharapkan.





BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari analisis data dan pembahasan atas hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.1 Kecendrungan budaya organisasi yang ada di RSUD Kabupaten Aceh  Tamiang adalah  budaya tinggi (adaptif) walaupun ada sebahagian kecil yang masih cenderung  rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sikap perawat yang masih belum mencerminkan sikap yang adaptif merupakan sikap individu semata bukannya sikap keseluruhan dari perawat yang ada.
1.2 Komitmen organisasi yang ada pada perawat di RSUD kabupaten Aceh Tamiang adalah jenis continuance commitment, dengan indikator bahwa individu yang memiliki continuance commitment  tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi.
1.3 Terdapat pengaruh  yang tidak signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang. Pada hasil analisis menunjukkan bahwa budaya organisasi yang tinggi tidak di ikuti dengan komitmen organisasi yang tinggi pula, Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesa penelitian ditolak.

2.    Rekomendasi
3.1  Kepada RSUD Kabupaten Aceh Tamiang.
Kepada karyawan sebaiknya peningkatan jumlah orang yang bekerja dan dengan semakin banyaknya karyawan yang berpendidikan tinggi harus diiringi juga dengan peningkatan  budaya organisasi dengan lebih baik, sehingga dapat  meningkatkan komitmen yang dimiliki dan dapat tercipta kondisi kerja yang lebih baik. Penulis juga merekomendasikan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang agar meningkatkan perhatian dan dukungannya bagi peningkatan komitmen dengan memperhatikan faktor personal, situasional dan posisi bagi karyawannya dalam menerapkan suatu keputusan sehingga diharapkan nantinya budaya organisasi yang sudah tinggi dapat diiringi dengan komitmen organisasi yang tinggi pula.
3.2    Penelitian selanjutnya
Sebaiknya penelitian selanjutnya melibatkan lebih banyak responden yakni   dengan melibatkan seluruh pekerja di RSUD Kabupaten Aceh Tamiang bukan hanya perawat saja agar mendapatkan gambaran yang lebih luas lagi bagaimana budaya organisasi yang ada dan komitmen yang dimiliki serta menggunakan metode penelitian yang berbeda.




DAFTAR PUSTAKA



Arikunto.S (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Chrysanti Hana (2009) Skripsi Hubungan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasi pada perawat rumah sakit panti citarum, Semarang
         Dibuka pada: undip.ac.id/11105/1/JURNAL_SKRIPSI.pdf

          Danim (2003), Riset Keperawatan: Sejarah dan Metodelogi. Jakarta, EGC.

Hidayat Aziz Alimun (2007), Riset Keperawatan dan tekhnik penulisan Ilmiah. Jakarta, Salemba Medika.

Hastono Priyo Sutanto (2007), Analisis Data Kesehatan. Depok,Fakultas   Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Nulhakim Lukman (2010) Analisis korelasi sederhana kuliah ilmu computer dan SPSS, pertemuan VII. Medan

          Nursalam (2008), Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta, Salemba Medika

Makmuri Muchlas (2008). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada     University Press.

Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the antecedents, correlates, consequences of organizational commitment. Psychological bulletin. 108, 171-194.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research and application. California: Sage Publications.

Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steeras, R. (1982). Organizational linkages : the psychology of commitment, absenteeism, and turnover. San Diego, California : Academic Press.

Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice Hall. 

Rastodio (2009). Budaya Oganisasi.jakarta.EGC
 
Sutarto (2006).Dasar-Dasar organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soegiarto Soekidjan, Sp. KJ. (2009)), Komitmen Organisasi Sudahkah Menjadi Bagian Dari Kita. Dibuka pada: www.kesad.mil.id/category/berita/ditkesad.

Soekidjo notoatmodjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Wikipedia Indonesia (2009). Budaya, Dibuka pada: http/id.wikipedia, org/wiki/budaya/2009

Wahyuni sari arlinda (2009). Statistika Kedokteran dan aplikasi SPSS, Jakarta:  Bamboedoea Communication
.
Wartawarga (2009) dibuka pada: http/wartawarga.ac.id/2009/12/sikap-pekerja dan  kepuasaan-kerja-ditinjau-dari-pengaruh-budaya organisasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar